Header Ads

test

Gadis-gadis Rohingya dalam Ancaman Penculikan dan Pelecehan Seksual


Media Bangsa - Gadis-gadis Rohingya setiap harinya bagai terkurung di tenda mereka di Bangladesh karena takut menghadapi penculikan dan pelecehan seksual jika mereka pergi ke luar, kata sebuah laporan yang dirilis pada Rabu (20/6).

Sebuah laporan bertajuk “Remaja Putri dalam krisis: Suara Rohingya” yang dirilis oleh organisasi berbasis di Inggris, Plan International, mengungkap hasil wawancara dengan 300 anak perempuan Rohingya dalam dua kelompok usia yakni 10-14 tahun dan 15-19 tahun.

Menurut laporan itu, salah satu masalah terbesar yang dihadapi gadis-gadis Rohingya di kamp adalah kurangnya kebebasan bergerak.

Keluarga tidak ingin para gadis meninggalkan tenda mereka karena takut putri mereka diculik atau dilecehkan secara seksual.

Kelemahan ekonomi dan fisik yang disebabkan oleh krisis juga membuat anak perempuan dan perempuan rentan terhadap masalah seperti perdagangan manusia, eksploitasi seksual, pernikahan dini dan perkawinan paksa.

Banyak dari gadis-gadis itu yang menyebut kondisi di kamp pengungsi saat ini bagai membuat mereka “mati lemas”.

Keluarga-keluarga tinggal di tenda-tenda dan tempat penampungan yang penuh sesak yang akhirnya memunculkan kekhawatiran keamanan dan beban kerja pada anak perempuan.

Laporan itu juga mengatakan bahwa para gadis merasa lebih aman daripada di Myanmar, tetapi mereka juga merasa dibatasi karena tidak memiliki akses ke pendidikan dan tidak dapat mengembangkan keterampilan apa pun.

Sementara gadis-gadis Rohingya dari segala usia masih tertarik untuk pergi ke sekolah, akses pendidikan bagi Muslim Rohingya di Myanmar malah terhambat.

“Karena kurangnya kesempatan pendidikan, masalah bahasa, masalah keamanan, pekerjaan rumah tangga dan kurangnya penghargaan terhadap pendidikan anak perempuan, gadis-gadis Rohingya juga dicegah pergi ke sekolah di Bangladesh.”

Krisis Rohingya

Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750 ribu pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas, menurut Amnesty International.

Setidaknya 9.400 orang Rohingya tewas di Rakhine dari 25 Agustus hingga 24 September tahun lalu, menurut Doctors Without Borders.

Dalam laporan yang diterbitkan baru-baru ini, kelompok kemanusiaan mengatakan kematian 71,7 persen atau 6.700 orang Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Mereka termasuk 730 anak-anak di bawah usia lima tahun.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat karena puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012 silam.

PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh personel keamanan. Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. sumber: SI

Tidak ada komentar