Header Ads

test

Membeli Mobil Hanya untuk Diparkir, 93 % konsumen orang Indonesia malu bila tak punya mobil


Membeli Mobil Hanya untuk Diparkir

Media Bangsa - Pernah dengar istilah “manasin mobil” di akhir pekan? Ini barangkali jadi kebiasaan sebagian pemilik mobil pribadi warga di perkotaan yang memanfaatkan mobil sekali dalam sepekan. Saat hari kerja, pemilik mobil lebih memilih menggunakan sepeda motor atau angkutan umum untuk mencapai kantor, karena tak mau pusing didera kemacetan. Sedangkan mobil-mobil mereka terparkir manis di garasi atau halaman rumah masing-masing.

Di sinilah efektivitas memiliki mobil pribadi mulai dipertanyakan. Kendaraan roda empat bagi masyarakat Indonesia memang tak hanya sebagai sarana transportasi tapi ada sisi gengsi dan status sosial. Berdasarkan riset Nielsen pada 2014 yang berjudul The Nielsen Global Survey of Automotive Demand menunjukkan betapa pentingnya mobil bagi status sosial orang Indonesia. 

Laporan itu mencatat, 93 persen konsumen online orang Indonesia malu bila tak punya mobil. Rasa malu orang Indonesia lebih tinggi dari negara-negara tetangga. Di Malaysia misalnya, dalam riset itu terungkap hanya ada 33 persen yang malu bila tak punya mobil, lalu Singapura lebih rendah hanya 22 persen, lalu Filipina dan Thailand masing-masing 21 persen.

Gengsi orang Indonesia secara tak langsung mendorong penjualan mobil. Rata-rata penjualan mobil di Indonesia bisa mencapai 1 juta unit per tahun. Diperkirakan, penjualan mobil ini akan naik dua kali lipat dalam lima tahun, termasuk di wilayah Jakarta dan sekitarnya. 

Menurut Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pertambahan jumlah kendaraan beroda empat sebanyak 1.600 unit setiap harinya. Jumlah tersebut didasarkan keluarnya Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) Samsat Polda Metro Jaya. Bertambahnya populasi mobil ini tak hanya mengisi jalan-jalan tapi juga gang-gang sempit di kawasan hunian hingga tempat parkir pribadi maupun umum.

Membeli Mobil Hanya untuk Diparkir



Dari Parkir ke Bisnis Parkir

Saat seseorang membeli mobil, lalu hanya menaruh aset kesayangannya di garasi rumah, hanya salah satu sisi soal efektivitas membeli mobil pribadi. Namun, bagi mereka tetap menggunakan mobil untuk keperluan sehari-hari seperti berangkat ke kantor, juga bukan berarti mobil-mobil mereka bebas dari persoalan.

Studi global tentang perparkiran dari International Business Machines Corporation (IBM) pada 2011 mengungkapkan mobil merupakan salah satu aset paling mahal dari sebuah keluarga, lebih 96 persen waktu dari keberadaan mobil berada di garasi atau lahan parkir setiap harinya.

Mari berhitung, saat pagi hari seseorang yang menggunakan mobil ke kantor yang menempuh waktu perjalanan minimal 1-2 jam. Setelahnya, mobil akan beristirahat di parkiran kantor. Sampai waktu makan siang, si pemilik memilih makan siang dengan menggunakan mobil selama satu jam, kemudian mobil kembali parkir, hingga pulang kantor dan sampai kembali ke garasi rumah lagi. Artinya jika dihitung selama enam hari kerja sebanyak 144 jam, mobil seseorang bisa efektif hanya dipakai selama 30 jam atau 20 persen saja.

Mobil yang terparkir di rumah atau tempat kerja juga harus “terparkir” di jalan-jalan, sebagian besar orang menghabiskan berjam-jam waktunya duduk di belakang kemudi karena kemacetan. Keruwetan kemacetan hanya salah satu masalah yang harus diterima bagi mereka yang memilih mengendarai mobil pribadi, selain biaya bensin, hingga biaya parkir yang tak murah. Sehingga justru menjadi ladang uang bagi bisnis parkir.

Parkir memang menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan, bagi swasta maupun pemerintah daerah. Di Jakarta misalnya, sistem parkir meter mendatangkan uang miliaran rupiah. Selain bisnis lahan parkir, jasa parkir valet juga diuntungkan dengan keberadaan mobil pribadi. Bisnis parkir valet berlangsung di mal-mal kota besar seperti Jakarta, dengan tarif yang berkisar antara Rp50 ribu per mobil. Dengan asumsi ada 400-800 mobil per hari dari pengguna jasa parkir valet di sebuah mal, maka  Rp20-40 juta bisa diraup atau Rp1 miliar lebih per bulan.

Belakangan ini juga muncul aplikasi ride sharing berkonsep “nebeng” yaitu uberPOOL dan Nebengers. Kedua aplikasi ini menawarkan kepada beberapa penumpang yang memiliki arah tujuan yang sama untuk “patungan” membayar biaya perjalanan mobil yang dipakai mengangkut para penumpang. 

Sebuah studi yang dilakukan oleh International Transport Forum di OECD pada 2016 menunjukkan mobilitas dengan cara berbagi tumpangan memengaruhi kualitas hidup masyarakat di kota-kota. Dengan berbagi kendaraan, jumlah jarak tempuh kendaraan akan berkurang sebesar 37 persen. Biaya mobilitas juga akan berkurang hingga 50 persen karena kapasitas kendaraan akan digunakan secara efisien.

Selain itu, ruang publik yang digunakan sebagai lahan parkir akan berkurang sebanyak 95 persen. Hal ini memungkinkan lebih banyak lahan yang akan digunakan untuk taman, ruang terbuka hijau dan trotoar yang lebih lebar untuk para pejalan kaki. 

Namun, itu hanya hitungan di atas kertas, karena dengan segala biaya yang harus dirogoh oleh para pemilik mobil pribadi termasuk biaya parkir, keputusan memiliki kendaraan mobil pribadi tetap menjadi pilihan. Persoalannya dikembalikan ke masing-masing orang saat akan membeli mobil, untuk kebutuhan atau hanya gengsi-gengsian? sumber : tirto.id

Tidak ada komentar